0 5 min 2 minggu
59 / 100 Skor SEO

Suatu Refleksi tentang Krisis Kepemimpinan di Rahim UKSW[1] 

Oleh : Mariano Ombo (Ketum BPMU UKSW 2022)


Pengantar

Memasuki usia tujuh dasawarsa, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) telah dihantam  banyak gelombang tatkala mengarungi samudera perguruan tinggi. Semarak syukur bertemu  dengan desir kegelisahan yang tak bisa dibungkam. Di balik senyum dan seremoni, terdengar  gema batin yang resah: ke mana sebenarnya arah langkah kampus ini? Dulu, Satya Wacana  berdiri sebagai mercusuar nilai—bukan sekadar akademik, melainkan juga spiritual, sosial,  dan etis. Kini, lentera itu redup, seakan kehilangan sumber cahayanya.

Tulisan ini bukan baru pertama kali menyapa bumi. Ia pernah dibumikan tiga tahun silam,  kala penulis masih mengemban amanah sebagai Ketua Umum Badan Perwakilan Mahasiswa  Universitas Kristen Satya Wacana periode 2022. Saat itu, bersama beberapa aktivis lembaga  kemahasiswaan, suara kami mengudara: menyerukan tuntutan dan permintaan  pertanggungjawaban kepada Pembina Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana— mereka yang kala itu menjadi aktor dalam pemilihan Rektor periode 2022–2027.

Kini, tahun 2025, tulisan ini kembali hadir. Tidak sebagai nostalgia, tapi sebagai cermin.  Sebagai seruan nurani dalam sunyi yang semakin riuh. Kondisi kampus akhir-akhir ini  memprihatinkan—tergores oleh ketidakadilan, diwarnai oleh demonstrasi dari beberapa  fakultas yang menuntut HAK mereka, dan dipenuhi oleh tanya yang tak kunjung terjawab.

Apa yang lenyap bukan sekadar kebijakan atau sistem yang tepat. Yang  sirna adalah roh. Roh yang selama ini menghidupi nama itu sendiri: Satya Wacana— kesetiaan kepada Firman, kepada Sang Pemilik yang dulu menumbuhkan kampus ini dari  tanah pergumulan dan pengharapan.

Satya Wacana: Nama yang Mengandung Janji dan Nyawa

“Setia kepada Firman” bukan sekadar slogan, tapi sumpah iman yang dijahit dalam  nama, tertanam dalam dinding-dinding batu dan hati mereka yang dipanggil untuk  belajar dan melayani. Nama ini adalah nyala suci, panggilan untuk hidup dalam  terang kasih, kebenaran, keadilan, kerendahan hati, dan pelayanan.

Empat pilar: souvereinitas, normativitas, aktualitas, sosiabilitas—bukan dilahirkan oleh  kebutuhan administratif, melainkan oleh kesadaran akan hadirat Allah dalam dunia  akademik. Kampus ini bukan institusi semata; ia adalah altar pelayanan. Pemimpin

di dalamnya bukan pemegang kuasa, melainkan penjaga bara api kudus:  penatalayan dari mandat surgawi.

Tanda-Tanda Zaman: Kepemimpinan yang Gagap Rohani

Usia tidak selalu membawa kebijaksanaan. Di titik ini, UKSW justru  menampilkan gejala kelapukan spiritual. 

Kini, di tengah semarak birokrasi dan jargon-jargon modern, kita menyaksikan  sebuah ironi yang menggigit: kepemimpinan yang semakin mendaku sebagai  penuntun, justru menjauh dari roh penuntunan sejati. Ia lebih sibuk menuntut  kepatuhan—bisu, seragam, tak berpikir. Bukan kepatuhan yang lahir dari cinta akan  kebenaran, melainkan dari rasa takut akan sanksi dan kehilangan tempat.

Paradigma ini asing, bahkan mencederai akar kita. Sebab Notohamidjojo tak pernah  membayangkan Satya Wacana sebagai tempat di mana suara dibungkam dan  keberanian dibekukan. Ia tidak merintis kampus ini untuk melahirkan pengikut,  tapi penafsir zaman; bukan birokrat rohani, melainkan nabi-nabi kecil yang berani  bersuara ketika nurani dilukai.

Namun kini, ruang-ruang akademik perlahan menjadi aula bisu—tak lagi  terpantik perdebatan teologis atau pergulatan etis, melainkan penuh memo-memo  instruksi dan e-mail pengingat untuk taat pada kebijakan yang tak boleh ditanya,  apalagi dibantah.

Kepemimpinan telah berubah rupa: dari gembala menjadi pengawas; dari sahabat  dialog menjadi hakim sunyi.

Ketika patuh lebih dipuja ketimbang jujur, maka kampus ini bukan lagi tanah subur  bagi pemikir, melainkan ladang monoton tempat benih-benih keberanian mati  sebelum sempat bertumbuh. Ketika loyalitas lebih diukur dari diamnya lidah, bukan  nyalanya hati, maka kita sedang menggali kubur bagi nilai yang dulu menjadi nadi.

Bukankah Satya Wacana dibangun dari semangat untuk merdeka dalam berpikir  dan merendah dalam melayani? Maka di mana kini semangat itu, ketika ruang-ruang pengambilan keputusan hanya terbuka bagi segelintir dan tertutup rapat bagi  yang berbeda suara? Apakah kita sedang membentuk universitas, atau mendirikan menara babel dengan  bahasa kekuasaan yang tak dimengerti oleh  nurani?

Quo Vadis Satya Wacana?

Pertanyaan Quo Vadis Satya Wacana?—”Ke mana engkau berjalan, Satya Wacana?”— adalah suara sunyi yang seharusnya menggugah seluruh hati nurani kita. Ini bukan  interpelasi untuk penguasa semata, melainkan nyanyian duka yang meminta jawab  dari dosen, mahasiswa, staf, alumni, bahkan masyarakat yang mencintai kampus ini 

dari kejauhan.

Apakah kita berjalan menuju kejayaan statistik namun kehilangan makna? Apakah  kita mengejar akreditasi dan proyek demi gengsi, seraya membiarkan integritas dan  spiritualitas lapuk dalam diam?

Atau mungkinkah kita justru harus berhenti sejenak—mundur selangkah untuk  melihat lebih dalam ke cermin jiwa kita? Bahwa Satya Wacana bukan sekadar  institusi, melainkan tubuh hidup yang hanya bernapas jika Firman masih bertakhta di  jantungnya?

Ingatlah: kampus ini lebih besar daripada para pemimpinnya. Ia telah ada sebelum  kita, dan akan tetap ada setelah kita, hanya jika kesuciannya dijaga. Siapa pun yang  merasa memegang tongkat kuasa, sesungguhnya hanya dititipi beban kudus. Sebab  tanpa iman, kuasa hanya akan membusuk menjadi legitimasi penyimpangan.

Penutup: Pertobatan, Kembali ke Firman

Satya Wacana hanya akan mati jika nilai-nilainya dikhianati oleh kekuasaan. Maka  memasuki usia 70 tahun dalam pelayaran di samudera perguruan tinggi, pertanyaan  terpenting bukanlah: apa yang telah kita capai? Melainkan: masihkah Tuhan menjadi  pemilik kampus ini?

Jika jawabannya samar, maka tak ada jalan lain kecuali berbalik dan bertobat. Kembali  menyucikan setiap ruang, setiap jabatan, setiap relasi. Sebab hanya jika Tuhan  kembali menjadi pusat, maka Satya Wacana tidak lagi menjadi pertanyaan,  melainkan kesaksian. Ia akan menjadi nyala yang membakar lembah akademik  dengan terang kasih dan kebenaran.

Kaki Gunung Merbabu, 6 Mei 2025

Mariano Ombo

Ketum BPMU UKSW 2022


Quo Vadis Satya Wacana: Suatu Refleksi tentang Krisis Kepemimpinan di Rahim UKSW

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *