
Suatu Refleksi tentang Krisis Kepemimpinan di Rahim UKSW[1]
Oleh : Mariano Ombo (Ketum BPMU UKSW 2022)
Pengantar
Memasuki usia tujuh dasawarsa, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) telah dihantam banyak gelombang tatkala mengarungi samudera perguruan tinggi. Semarak syukur bertemu dengan desir kegelisahan yang tak bisa dibungkam. Di balik senyum dan seremoni, terdengar gema batin yang resah: ke mana sebenarnya arah langkah kampus ini? Dulu, Satya Wacana berdiri sebagai mercusuar nilai—bukan sekadar akademik, melainkan juga spiritual, sosial, dan etis. Kini, lentera itu redup, seakan kehilangan sumber cahayanya.
Tulisan ini bukan baru pertama kali menyapa bumi. Ia pernah dibumikan tiga tahun silam, kala penulis masih mengemban amanah sebagai Ketua Umum Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana periode 2022. Saat itu, bersama beberapa aktivis lembaga kemahasiswaan, suara kami mengudara: menyerukan tuntutan dan permintaan pertanggungjawaban kepada Pembina Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana— mereka yang kala itu menjadi aktor dalam pemilihan Rektor periode 2022–2027.
Kini, tahun 2025, tulisan ini kembali hadir. Tidak sebagai nostalgia, tapi sebagai cermin. Sebagai seruan nurani dalam sunyi yang semakin riuh. Kondisi kampus akhir-akhir ini memprihatinkan—tergores oleh ketidakadilan, diwarnai oleh demonstrasi dari beberapa fakultas yang menuntut HAK mereka, dan dipenuhi oleh tanya yang tak kunjung terjawab.
Apa yang lenyap bukan sekadar kebijakan atau sistem yang tepat. Yang sirna adalah roh. Roh yang selama ini menghidupi nama itu sendiri: Satya Wacana— kesetiaan kepada Firman, kepada Sang Pemilik yang dulu menumbuhkan kampus ini dari tanah pergumulan dan pengharapan.
Satya Wacana: Nama yang Mengandung Janji dan Nyawa
“Setia kepada Firman” bukan sekadar slogan, tapi sumpah iman yang dijahit dalam nama, tertanam dalam dinding-dinding batu dan hati mereka yang dipanggil untuk belajar dan melayani. Nama ini adalah nyala suci, panggilan untuk hidup dalam terang kasih, kebenaran, keadilan, kerendahan hati, dan pelayanan.
Empat pilar: souvereinitas, normativitas, aktualitas, sosiabilitas—bukan dilahirkan oleh kebutuhan administratif, melainkan oleh kesadaran akan hadirat Allah dalam dunia akademik. Kampus ini bukan institusi semata; ia adalah altar pelayanan. Pemimpin
di dalamnya bukan pemegang kuasa, melainkan penjaga bara api kudus: penatalayan dari mandat surgawi.
Tanda-Tanda Zaman: Kepemimpinan yang Gagap Rohani
Usia tidak selalu membawa kebijaksanaan. Di titik ini, UKSW justru menampilkan gejala kelapukan spiritual.
Kini, di tengah semarak birokrasi dan jargon-jargon modern, kita menyaksikan sebuah ironi yang menggigit: kepemimpinan yang semakin mendaku sebagai penuntun, justru menjauh dari roh penuntunan sejati. Ia lebih sibuk menuntut kepatuhan—bisu, seragam, tak berpikir. Bukan kepatuhan yang lahir dari cinta akan kebenaran, melainkan dari rasa takut akan sanksi dan kehilangan tempat.
Paradigma ini asing, bahkan mencederai akar kita. Sebab Notohamidjojo tak pernah membayangkan Satya Wacana sebagai tempat di mana suara dibungkam dan keberanian dibekukan. Ia tidak merintis kampus ini untuk melahirkan pengikut, tapi penafsir zaman; bukan birokrat rohani, melainkan nabi-nabi kecil yang berani bersuara ketika nurani dilukai.
Namun kini, ruang-ruang akademik perlahan menjadi aula bisu—tak lagi terpantik perdebatan teologis atau pergulatan etis, melainkan penuh memo-memo instruksi dan e-mail pengingat untuk taat pada kebijakan yang tak boleh ditanya, apalagi dibantah.
Kepemimpinan telah berubah rupa: dari gembala menjadi pengawas; dari sahabat dialog menjadi hakim sunyi.
Ketika patuh lebih dipuja ketimbang jujur, maka kampus ini bukan lagi tanah subur bagi pemikir, melainkan ladang monoton tempat benih-benih keberanian mati sebelum sempat bertumbuh. Ketika loyalitas lebih diukur dari diamnya lidah, bukan nyalanya hati, maka kita sedang menggali kubur bagi nilai yang dulu menjadi nadi.
Bukankah Satya Wacana dibangun dari semangat untuk merdeka dalam berpikir dan merendah dalam melayani? Maka di mana kini semangat itu, ketika ruang-ruang pengambilan keputusan hanya terbuka bagi segelintir dan tertutup rapat bagi yang berbeda suara? Apakah kita sedang membentuk universitas, atau mendirikan menara babel dengan bahasa kekuasaan yang tak dimengerti oleh nurani?
Quo Vadis Satya Wacana?
Pertanyaan Quo Vadis Satya Wacana?—”Ke mana engkau berjalan, Satya Wacana?”— adalah suara sunyi yang seharusnya menggugah seluruh hati nurani kita. Ini bukan interpelasi untuk penguasa semata, melainkan nyanyian duka yang meminta jawab dari dosen, mahasiswa, staf, alumni, bahkan masyarakat yang mencintai kampus ini
dari kejauhan.
Apakah kita berjalan menuju kejayaan statistik namun kehilangan makna? Apakah kita mengejar akreditasi dan proyek demi gengsi, seraya membiarkan integritas dan spiritualitas lapuk dalam diam?
Atau mungkinkah kita justru harus berhenti sejenak—mundur selangkah untuk melihat lebih dalam ke cermin jiwa kita? Bahwa Satya Wacana bukan sekadar institusi, melainkan tubuh hidup yang hanya bernapas jika Firman masih bertakhta di jantungnya?
Ingatlah: kampus ini lebih besar daripada para pemimpinnya. Ia telah ada sebelum kita, dan akan tetap ada setelah kita, hanya jika kesuciannya dijaga. Siapa pun yang merasa memegang tongkat kuasa, sesungguhnya hanya dititipi beban kudus. Sebab tanpa iman, kuasa hanya akan membusuk menjadi legitimasi penyimpangan.
Penutup: Pertobatan, Kembali ke Firman
Satya Wacana hanya akan mati jika nilai-nilainya dikhianati oleh kekuasaan. Maka memasuki usia 70 tahun dalam pelayaran di samudera perguruan tinggi, pertanyaan terpenting bukanlah: apa yang telah kita capai? Melainkan: masihkah Tuhan menjadi pemilik kampus ini?
Jika jawabannya samar, maka tak ada jalan lain kecuali berbalik dan bertobat. Kembali menyucikan setiap ruang, setiap jabatan, setiap relasi. Sebab hanya jika Tuhan kembali menjadi pusat, maka Satya Wacana tidak lagi menjadi pertanyaan, melainkan kesaksian. Ia akan menjadi nyala yang membakar lembah akademik dengan terang kasih dan kebenaran.
Kaki Gunung Merbabu, 6 Mei 2025
Mariano Ombo
Ketum BPMU UKSW 2022
Quo Vadis Satya Wacana: Suatu Refleksi tentang Krisis Kepemimpinan di Rahim UKSW